Duo Ranger

Jumat, 11 Januari 2008

Bukan Sebuah Pilihan





Idealisme dan Materialisme dua istilah yang tidak asing. Dari dahulu sampai saat ini menjadi bahan diskusi yang tiada henti. Dekat sekali dengan kehidupan nyata kita saat ini. Idealisme dan meterialisme adalah sebuah pilihan. Terkadang tanpa kita sadaripun kita termasuk pada salah satunya. Menurut Tan Malaka dalam bukunya yang berjudul MADILOG ( Materialisme Dialektika Logika), dialektika idealistik berdasarkan pada ide, pikiran atau impian belaka.
Matter, hal-hal kebendaan seperti dalam ilmu pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya, adalah segala sesuatu yang bisa dicap oleh pancaindera kita. Yang nyata, yang bisa dilihat, didengar, dikecap, diraba, dan dicium. Sementara ide adalah pengertian atau pikiran kita tentang benda tadi dalam otak kita. Benda berada di luar otak, dan pikiran itu adalah bayangan benda tadi dalam otak kita.
Tan Malaka menganggap idealisme hanyalah pikiran dari orang-orang yang suka bermimpi. Seperti Utopia, sebuah negeri impian yang sempurna, dimana keadilan dijunjung tinggi, dimana hak asasi dihormati. Tapi persis seperti artinya, Utopia hampir mustahil ada. Utopia hanyalah impian dari pemimpi-pemimpi keadilan, seperti juga idealisme. Hampir mustahil ada berarti ada kemungkinan mimpi itu akan menjadi kenyataan. Walaupun keadilan hanya milik Tuhan, tapi setidaknya kita berusaha untuk berlaku seadil mungkin bukan sama rata tetapi sesuai porsi. Begitulah yang sering kita dengar pada pelajaran Pancasila atau PPKN pada saat kita mengenyam bangku pendidikan.
Idealisme hanya dimiliki orang-orang yang tanpa pamrih. Orang-orang yang kuat, tidak sekedar berpikir duniawi, tidak sekedar berpikir kekuasaan, kepentingan bahkan kedudukan. Ada orang yang berpikir, kita tidak bisa hidup dengan idealisme, idealisme bikin kere, idealisme tidak realistis dan sebagainya. Memang, keadaan terkadang membuat orang berpikir ulang untuk tetap memegang teguh idealismenya.
Seperti dalam film Gie, Gie tetap bersepeda atau mengendarai becak sedang temannya yang dahulu sama- sama suka demo kini telah menikmati hidup dengan mobil mewahnya. Temannya sedang aktif bergelut di dunia politik yang nyerempet-nyerempet kotor. Temannya heran melihat Gie yang tetap nyaman dengan kekereannya dan idealismenya.
Itulah, orang-orang idelisme mempunyai kebahagiaan yang tidak dimiliki orang-orang kebanyakan. Kabahagiaan yang sederhana. Kebahagiaan karena berhasil mengikuti kehendak nurani tanpa takut menderita. Kepuasan sejati.
Idealisme juga identik dengan mahasiswa. Entah hal ini masih melekat atau tidak. Mungkin sebagian mahasiswa masih menjunjung tinggi hal ini dan sebagian lain entah lupa atau tidak mau tahu. Kebanyakan, idealisme luntur seiring dengan tingginya jabatan atau tuanya usia. Dahulu, saat masih Mahasiswa, berteriak lantang tentang keadilan, tentang koripsi, kolusi, dan nepotisme. Tapi setelah mendapat kedudukan empuk di salah satu partai atau menjadi pejabat elite, malah menjadi oknum dari apa yang didemokannya dahulu. Lupa atau pura-pura lupa, saya pun tidak tahu. Jangan tanya kenapa. Hukum alam atau apalah, kenyataannya memang seperti itu. Setelah tua, jadi lupa. Setelah tua pikirannya jadi ikut-ikutan konservatif.
Materialisme, dialektika materialistik berdasarkan benda. Menurut Hegel, Dialektika materialis adalah dialektika berdasarkan hukum gerak sesungguhnya dalam alam, yang merupakan satu abstraksi, satu perpisahan dari gerakan, dimana keadaan dan batas materi ditentukan. Dalam dialektika materialis terjadi pertentangan dalam pikiran, hal ini merupakan terjemahan dari pikiran kita tentang pertentangan materi di alam ini, akibat pertentangan gerak dasarnya. Menurut Hegel lagi, kemajuan materi menentukan kemajuan pikiran.
Menurut Hegel, kemajuan masyarakat ini berasal dari kemajuan pikiran semata-mata. Dalam pikiran kita menemui pertentangan, misalnya “adil” dan “antiadil”. Pertentangan ini diselesaikan dalam otak, dengan mendapatkan pengertian baru berupa sintesis, misalnya “kemakmuran bersama”. Pengertian “kemakmuran bersama” yang didapat dalam otak inilah yang akhirnya menjalankan materi, politik, ekonomi, pendidikan, teknologi masyarakat.
Menurut ahli dialektika materialis, kejadian ini berlaku sebaliknya, Awalnya adalah masyarakat. Pertentangan dalam masyarakat antara yang berpunya dan yang tak berpunya dipertajam oleh pesatnya perkembangan teknologi. Kemajuan teknik itu menambah kekayaan dan kekuasaan kaum kaya dan berkuasa, sebaliknya menambah miskin dan lemah kaum tak berpunya.
Perpaduan baru, sintesis itu, didapat dalam masyarakat juga. Sintesis itu berupa “kepemilikan bersama” atas alat untuk menciptakan “kamakmuran bersama”. Sintesis inilah yang membayang dalam otak, akhirnya gerakan politik guna menciptakan masyarakat baru berdasarkan “kepemilikan bersama” dan “kemakmuran bersama”inilah yang mengendalikan kelas tak berpunya.
Materialistik, sikap yang sudah mendarah daging. “Dengan uang kita bisa membeli apa saja, mana bisa kejujuran atau idelisme ditukar dengan sekarung beras untuk dijadikan nasi”, begitulah pikiran orang-orang yang berorientasi kebendaan atau materialistik. Mereka mungkin lupa, ada banyak hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. Salah satunya adalah kebahagiaan.
Ada sebuah Film yang bercerita tentang sekelompok anak muda yang sangat benci dengan kemewahan, anti hedonisme dan kemapanan. Sekelompok anak muda ini mencari cara untuk menghentikan kehedonan disekitar mereka. Cara yang mereka tempuh cukup unik, salah satunya dengan menjatuhkan balok-balok es ke dalam kolam renang. Mereka menganggap berenang dikolam renang adalah salah satu tindakan hedonis dan bertentangan dengan jiwa mereka yang idealis.
Tentu saja yang mereka lakukan adalah keliru. Akhirnya mereka dipanggil oleh salah seorang polisi. Tanpa diduga polisi tersebut malah bercerita layaknya nostalgia. Polisi itu berkisah bahwa dahulu, saat muda polisi tersebut melakukan tindakan yang serupa bahkan lebih parah. Alasannya tentu saja karena tidak puas dengan sistem yang ada dan menentang kapitalis. Tetapi pada akhirnya ketika polisi tersebut telah berkeluarga, beristri dan mempunyai anak yang harus dibiayai. Pikirannya berubah menjadi realistis. Lingkungan dan kebutuhan membuatnya berpikir panjang dan membuatnya tidak mungkin berlama-lama memelihara pemikirannya yang anti kapitalis tersebut.
Cerita pada film tersebut memberikan banyak makna dan pelajaran pada kita. Tidak selamanya seseorang konsisten pada pemikirannya. Ketika kenyataan memaksanya untuk berubah pikiran, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Idealisme atau materialisme adalah pilihan. Keduanya senantiasa ada ditengah-tengah kita. Keduanya memiliki segi positif dan negatif. Tidak ada yang sempurna. Tergantung dari sisi mana kita memandang. Begitu juga di dunia jurnalis atau apapun, keduanya pasti ada. Dikutip dari puisi Dewi Lestari, mungkin orang idealis berpikir seperti ini :
“Di hamparan gurun yang seragam, jangan lagi menjadi butiran pasir. Sekalipun nyaman engkau di tengah impitan sesamamu, tak akan ada yang tahu jika kau melayang hilang. Di lingkungan gurun yang serba serupa untuk apalagi menjadi kaktus sekalipun hijau warnamu engkau tersebar dimana-mana tak ada yang menangis rindu jika kau mati layu.”
posted by Duo Ranger at 04.05

2 Comments:

Hoh,,,,apa yang harus aku komentari dari tulisan bekas OJ yang bikin gw eneg itu?
Yang ingin aku tanyakan, apakah yang memberi tugas mempunyai idealisme, saat mereka diem aja ngeliat kita dijadiin domba aduan, yang berantem sama ombusway? halaaaaahh...

15 Januari 2008 pukul 04.07  

menjadi idealis itu seperti dalam sebuah kotak tertutup, pandangan kita terhalang sudut-sudut kotak tersebut, pikiran kita menjadi terkekang dalam suatu pemikiran yang sebenarnya ga mesti bener

buat aku menjadi idealis berarti harus tahu benar dengan apa yang kita pertahankan, apa yang kita bela dan apa yang kita perjuangkan

susahlah pokoknya...???

15 Januari 2008 pukul 09.06  

Posting Komentar

<< Home